Pascapandemi Media Kecil Lebih Beruntung Dibanding Media Besar

Pamudji Slamet | Sabtu, 09/03/2024 11:35 WIB

Pascapandemi Media Kecil Lebih Beruntung Dibanding Media Besar Pemimpin Redaksi Suara.com Suwarjono dalam acara Advance Training for The Media Business Viability, di Yogyakarta,  7-8 Maret 2024. (foto:ist)

SITUSJATIM - Pemimpin Redaksi Suara.com Suwarjono menyatakan, pascapandemi media kecil lebih beruntung dibanding media besar. Media dengan jumlah tim yang kecil akan jauh lebih sustain daripada media, dengan jumlah tim yang besar.

Pandangan tersebut mengemuka dalam Advance Training for The Media Business Viability, di Yogyakarta,  7-8 Maret 2024. Pertemuan ini digelar oleh Suara.com dan Internasional Media Support (IMS) dengan mendapat dukungan dari European Union (EU).

Sedikitnya 12 pengelola media lokal dan media segmentasi khusus dari sejumlah daerah di Indonesia hadir dalam program ini. Para pengelola media, baik pendiri media, CEO, pemimpin redaksi atau perusahaan tersebut berdiskusi hingga merumuskan kembali peluang dan tantangan keberlangsungan media ke depan.

Dalam paparannya, Suwarjono menggarisbawahi pentingnya
program ini. Terutama menurutnya, karena situasi saat ini media di Indonesia, baik media daerah maupun nasional sedang menghadapi tantangan sangat besar, khususnya keberlangsungan bisnis.

Baca juga :

“Dari lima tantangan, baik teknologi, konten, distribusi, regulasi dan bisnis media, saat ini tantangan paling signifikan adalan business model. Model bisnis media setelah pandemi berubah total, baik untuk media besar atau yang kecil," ujar Suwarjono, seperti dikutip dari siaran pers, Sabtu (9/3/2024).

"Untuk saat ini yang beruntung adalah media yang tidak besar, (yang) jumlah timnya kecil. Mereka jauh lebih sustain daripada media besar. Artinya, menjadi kesempatan untuk teman-teman yang hadir di kegiatan ini, karena kebanyakan timnya cenderung tim kecil, berpeluang jauh lebih survive dan berkembang," papar Suwarjono.

Pemateri lain, yakni Direktur Regional Asia IMS, Lars H Bestle menegaskan,  bahwa pertemuan kali ini memang ditujukan sebagai pelatihan tingkat lanjut menyangkut kelangsungan bisnis media. IMS sendiri menurutnya merasa bangga dan senang dapat menghadirkan program ini sekaligus berbagi pengetahuan dengan perwakilan kedua belas media yang rata-rata sudah menjalani program IMS sebelumnya.

Sementara itu, Eva Danayanti selaku Program Manager IMS di Indonesia, mengatakan, pelatihan ini merupakan kelanjutan juga dari program serupa 1-2 tahun lalu, yang diberikan kepada media-media terpilih yang selama ini menjalani program bimbingan bersama IMS dan Suara.com. Dia juga menjelaskan, training dua hari ini hanyalah awal dari rangkaian program. Sebab, dalam beberapa bulan ke depan masih akan diikuti oleh sesi-sesi coaching spesifik, beserta peluang pendanaan demi membantu media-media peserta mewujudkan ide pengembangan bisnisnya.

Konten Pembeda

Paparan berikutnya disampaikan oleh fasilitator dari IMS. Yakni Emilie Lehmann- Jacobsen (Asia Program Development Adviser) dari Denmark dan Dany Yong (Asia Media Business Adviser) dari Malaysia.

Emilie memulai paparannya dengan penjelasan tentang model kebutuhan pengguna atau audiens (user needs model). Hal itu berkaitan dengan konten yang dihasilkan oleh media, baik konten yang sifatnya informatif, aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, sampai konten yang menginspirasi.

Emilie mengingatkan bahwa di era sekarang, media tidak cukup hanya berpikir tentang memberitakan atau menyajikan informasi yang sifatnya up to date. Namun juga harus menciptakan konten pembeda dibanding media-media lainnya. Oleh sebab itu, Emilie mengenalkan “User Needs Model 2.0” yang disebut merupakan produk pengembangan program BBC.

Dalam model itu disajikan diagram pembagian kebutuhan audiens yakni know (fact driven), understand (context driven), feel (emotion driven), dan do (action). Secara singkat, berdasarkan penjelasan Emilie, fact driven atau menginformasi audiens berarti memenuhi kebutuhan audiens akan suatu informasi. Sedangkan context driven atau memberi penjelasan, adalah dengan memenuhi kebutuhan audiens untuk memahami sesuatu. Sementara itu untuk emotion driven, artinya adalah memenuhi kebutuhan audiens untuk merasakan sesuatu, biasanya lebih pada hal-hal yang relate dan berefek pada mereka. Lalu untuk action, media pada intinya bisa memfasilitasi audiens untuk melakukan sesuatu.

Tidak hanya penyampaian materi, training ini juga berlangsung lebih menarik dengan adanya diskusi dan praktik. Dalam salah satu praktik berkelompok yang dipandu Emilie misalnya, peserta diminta menganalisis potensi user needs model dari salah satu isu, yakni target Indonesia memiliki 80 persen penduduk kelas menengah pada tahun 2045.

Ide Pengembangan

Di bagian lain, peserta juga diminta untuk mengidentifikasi audiens medianya masing-masing, meliputi aspek demografi, konten terbaik atau yang paling perform, berdasarkan device pembaca, waktu pembaca paling banyak mengakses informasi, dan lain-lain. Peserta kemudian juga diminta melakukan studi kasus, dengan cara memilih artikel di situs masing-masing untuk dianalisis apakah sudah memenuhi aspek user needs yang mana, lalu diminta menganalisis user needs lain yang potensial.

Dalam sesi hari kedua yang dipandu Dany Yong, aspek audiens atau users need tersebut pun kemudian dieksplorasi lebih jauh bersama para peserta. Di hari kedua ini juga ada banyak diskusi yang dibuka dan dipancing oleh Dany, disertai beberapa praktik lainnya yang juga melibatkan analisis.

Poin utama dalam sesi hari kedua ini lebih diarahkan pada potensi atau ide-ide pengembangan baru bagi bisnis media-media peserta, berdasarkan pemetaan dan analisis terhadap user atau audiens yang sudah dilakukan. Di sini kembali para pengelola media dipancing untuk memikirkan value dari produk-produk yang mereka miliki, untuk melihat dan berpikir mengembangkan potensi bisnis yang mungkin selama ini kurang terlihat atau tidak disadari.

Contohnya menurut Dany, misalnya adalah untuk segmen pembaca atau audiens yang baru, baik itu berdasarkan analisis dari data pembaca di platform (website) masing-masing, maupun
juga berdasar users crowd-nya di saluran media sosial bagi media yang memiliki kekuatan itu. Dany juga menggarisbawahi bahwa ide atau potensi yang dipertimbangkan untuk
dikembangkan haruslah menambah value baru atau setidaknya me ingkatkan value yang ada.

Hal itu karena value sejatinya akan menjadi revenue, yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan atau keberlangsungan bisnis media tersebut.Yang menarik adalah, ide-ide yang dipancing lewat pemaparan materi, kemudian juga analisis dan diskusi itu, berpotensi untuk mendapatkan pendanaan lewat program Media Innovation Grant yang sudah disiapkan IMS.

Tentunya, akan ada proses yang perlu dilalui setelah pelatihan
ini, mulai dari pitching ide, coaching lewat bantuan beberapa mentor dengan spesialisasi bidangnya masing-masing, hingga penyampaian proposal (final pitching) yang lantas akan diseleksi dan dipilih untuk diberikan grant.

Bagi media yang terpilih mendapatkan dana untuk pengembangan ide atau inovasi bisnisnya, kelak juga akan senantiasa didampingi dalam mengeksekusi rencananya tersebut. Begitu pun bagi yang belum terpilih, tetap akan didampingi dan dimatangkan lagi potensi atau ide pengembangan yang dimilikinya, agar di kemudian hari tetap bisa direalisasikan.


 

 

TAGS : media lokal IMS Suwarjono